Merpati Hati (1): Sesi Revisi Berkali-Kali

 بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Alhamdulillah, tahun 2021-2022 menjadi tahun yang begitu berkesan bagi saya dalam perjalanan untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam kepenulisan melalui media daring. Berawal dari kegiatan mengamati media sosial yang dianggap orang biasa-biasa saja, ternyata membuat saya mendapatkan pengalaman berharga dalam dunia kepenulisan. Satu diantaranya, diajak kolaborasi oleh Kak Aena Rahim, pimpinan dari penerbit Malaysia, bekerja sama dengan penulis Singapura dan Indonesia. Saya yang waktu itu masih berada di semester 3, seolah tengah bermimpi mendapat tawaran seperti itu. 

Jujur, seumur hidup, baru kali ini saya ditawari kolaborasi oleh pihak penerbit dari negara berbeda. Saya termasuk orang yang kurang percaya diri dengan tulisan sendiri. Walau sudah mencoba beberapa kali memberanikan diri untuk menulis cerita atau puisi, tidak lain sekadar publikasi untuk berbagi karya saja. Saat mendapat tawaran dari Kak Aena, saya teringat pesan dari orang tua, dosen, dan guru untuk dapat memanfaatkan kesempatan dan belajar berkarya. 

11 November 2021 adalah awal saya mendapatkan pesan dari akun penerbit Aromawarna (Malaysia) berupa pertanyaan, 

Kamu penulis sastra Indonesia?

Saya yang masih dalam masa kuliah semester 3, lantas mengaminkan pertanyaan itu dengan maksud suatu hari, Insya-Allah kelak diri memang bisa menjadi penulis sastra Indonesia. Sekali lagi, pihak penerbit mendetailkan pertanyaannya kepada saya mengenai hal serupa. Kali ini, saya menjawab dengan jujur bahwa saya masih perlu belajar dan sedang memperjuangkan cita-cita saya sebagai seorang penulis. Sebab saya masih dalam posisi belajar dan akan terus seperti itu untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam dunia kepenulisan. 

Selain diberi pertanyaan dan tawaran, pihak penerbit terlebih dahulu meminta bukti karya yang pernah saya buat untuk diamati apakah bisa diikutkan kolaborasi atau tidak. Saya yang hanya beberapa kali membuat karya, berbagi tautan dua cerpen dan satu cerbung yang pernah saya buat, yaitu Cahaya Cinta (tugas sambung cerpen di SMA kelas 11 bersama guru bahasa Indonesia saya), Nada Cinta (cerpen lomba IHSD LDK UKMM ULM 2021), dan Garuda dan Putra Mahkota disertai ilustrasi yang saya buat sendiri melalui proses belajar otodidak. 

Mendapatkan daftar tautan cerpen, pihak penerbit meminta saya untuk menunggu sebab ketiga karya akan melalui tahap simak terlebih dahulu. Selesai menyimak ketiga karya yang telah dibagi, pihak penerbit memutuskan bahwa saya dapat mengikuti program antologi. Tentu saya perlu berbagi kontak yang dapat dihubungi oleh pihak penerbit untuk konfirmasi kesediaan untuk setuju mengikuti program tersebut. Saya mendapat pertanyaan apakah masih ada teman yang dapat diajak untuk mengikuti program antologi ini, lantas segera saya teringat dua rekan kuliah satu prodi. 

Mereka berdua sama-sama senang menulis, entah mengikuti program antologi atau berbagi karya mereka sesekali melalui media sosial. Saya segera memberi saran kepada penerbit untuk memberi kesempatan kepada mereka. Saya juga sudah memberitahu mereka melalui pesan WhatsApp mengenai hal ini. Alhamdulillah mereka menyambut baik informasi program antologi.

Penerbit memberitahu saya, bahwa untuk tema antologi masih dalam tahap diskusi. Insya-Allah kalau sudah pasti segala hal berkenaan program ini, tiap penulis yang sudah mendapatkan tawaran akan mendapat pesan konfirmasi. Saya menerima informasi ini dengan baik. Selagi menunggu, saya tidak lantas berdiam diri saja. Saya sambil menyimak akun penerbit Aromawarna, Manes, serta beberapa karya penulis Malaysia, seperti Kak Lila Vee, Kak Nirrosette, dan Kak Mimi Safiah.

Sebenarnya banyak karya berbahasa Melayu yang dapat menjadi sumber rujukan, tetapi sebab prosesnya yang agak terkendala, saya tak dapat langsung membeli karya mereka. Oleh karena itu, saya mulai belajar bahasa Melayu secara otodidak. Saya berpikir lebih baik memulai daripada menunggu tanpa berbuat apa-apa. Awal saya hanya membaca, sampai di satu titik memberanikan diri untuk membuat cerita pendek dengan judul Cinta Berbeza menggunakan bahasa Melayu sebagai tanda apresiasi saya terhadap para penulis Malaysia yang saya kenal melalui Instagram

Saya tahu, sekilas orang akan keheran dan bertanya mengapa saya melakukan hal seperti ini? Padahal, saya hanya belajar otodidak dan menggunakan bahasa berbeda walau serupa. Akan tetapi, saya pikir itu menjadi suatu tantangan menarik. Lagi pula, ini bukan pertama kali saya menantang diri saya pada hal-hal baru dalam kepenulisan. Alhamdulillah saya mendapatkan respons baik dari Kak Lila Vee, Kak Nir, dan Kak Aena. Rata-rata menyemangati saya untuk terus latihan dan terus berkarya. 

Belum lama setelah cerpen, saya mengisi waktu kembali dengan membuat puisi yang terinspirasi dari situasi banjir yang terjadi di Malaysia pada 2021 lalu. Saya teringat bagaimana situasi yang sama pernah terjadi di KalSel. Saya mencoba mengaitkan kedua situasi serupa, sehingga membentuk puisi dengan tajuk Banjir di Malaysia

Masuk di 2022, tepatnya Februari, saya mendapat pesan konfirmasi sesuai janji. Pesan berisi tawaran dan pertanyaan setuju atau tidak untuk menyambut tawaran program antologi. Gugup dan rasa tidak percaya diri segera menghinggap, membuat saya berpikir keras sekali lagi. Namun, saya teringat tujuan dan keyakinan untuk dapat bertahan dengan pilihan pada kesempatan yang telah diberikan. Saya pun akhirnya menyetujui tawaran ini dan mulai masuk ke dalam grup resmi yang mengumpulkan penulis Malaysia, Singapura, dan Indonesia dalam program antologi dengan tema Coretan Pelangi

Daftar persyaratan telah diberikan bagi para penulis. Saya berulang kali memeriksa persyaratan pembuatan karya. Baru kali ini saya mendapati penulis diberi batas minimal 8.000 kata dan maksimal 10.000 kata dalam menulis karya. Masya Allah, sangat berbeda dari apa yang saya bayangkan. Sekilas informasi, program antologi di Indonesia biasa menetapkan ketentuan batas minimal 700 sampai dengan maksimal 1.700 kata untuk karya cerpen. Maklum, saya baru merasakan ikut program dengan jumlah kata yang lebih banyak dari apa yang diketahui selama ini.

4.000 kata pernah saya ketik untuk cerpen Cahaya Hati, sampai harus dijilid khusus layaknya makalah diiringi sampul ilustrasi pribadi, dinilai terlalu panjang oleh guru saat di SMA sehingga beliau meminta untuk dijelaskan intinya saja. Dari guru-guru di SMA, saya menjadi giat untuk belajar membuat cerpen walau belum pernah ikut lomba menulis cerpen tingkat nasional. Mungkin program ini rancangan Allah untuk saya yang pernah berdoa untuk diizinkan membuat karya lebih dari tiga halaman. Sekarang Allah sudah mengabulkannya. Apakah lari menjadi jawaban? Tidak. Saya harus terima kesempatan ini. 

Mula-mula, saya bingung apa yang akan saya tulis. Tiba-tiba saya teringat dengan penerbit, teman, serta penulis dari Malaysia. Saya mulai mendapat inspirasi untuk menuliskan cerpen sebagai bentuk apresiasi saya kepada mereka dengan alur persahabatan antara orang Indonesia dengan Malaysia. Saya sudah terbayang bahwa cerpen ini akan mengandung dua bahasa, yakni Indonesia dan Melayu. Segera saya mengirim pesan ke penerbit untuk bertanya mengenai karakteristik dan hal-hal berkenaan dengan orang Melayu. 

Alhamdulillah penerbit bersedia memberitahu saya melalui telepon video di Instagram pribadi. Saya benar-benar gugup sebab kami berjanji malamnya kami akan berkomunikasi. Ini pertama kali saya akan saling tatap muka secara daring dengan penerbit. Saking gugupnya, saya meminta doa kepada keluarga agar prosesnya diberi kemudahan. Memutuskan untuk menghiraukan perasaan gugup, saya setuju untuk berkomunikasi. Dalam sisa waktu yang tersedia. saya segera merancang sekilas gambaran alur cerita. 

Malam, Alhamdulillah komunikasi bersama penerbit dan satu calon penulis dalam program antologi berlangsung dengan baik. Melalui percakapan yang dilakukan bersama penerbit, saya mulai belajar berkenaan watak dan pandangan orang Melayu. 

Bila ada yang bertanya,

Dengan bahasa apa berkomunikasi dengan penerbit Malaysia? 

Bahasa Melayu dengan campuran bahasa Indonesia. Saya juga sempat menerjemahkan beberapa kalimat dalam proses komunikasi.

Susah?

Tidak. Justru, itu menjadi tantangan yang menyenangkan bagi saya. Akan tetapi perlu dicatat, kepada penerbit, saya menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dengan penulis Indonesia. Saya berusaha menyesuaikan, walau saya akui masih perlu banyak belajar kosakata serta penyusunan kalimat. 

Dalam proses pembuatan naskah, saya gempur diri sendiri untuk tetap mengikuti program antologi bersama para penulis. Begitu juga dengan dua rekan satu prodi. Kami berkali-kali diminta revisi sekaligus membangun cerita sesuai tema. Di tengah kesibukan kuliah dan program lainnya, saya tetap menulis cerpen di tiap kesempatan yang saya miliki. Berkutat pada naskah di laptop, sampai aksi adiksi saya mempersiapkan naskah ini diketahui oleh beberapa teman satu prodi ketika berada di perpustakaan. 

Disusul oleh dosen yang saat itu sedang bekerja di sana, turut penasaran dengan apa yang saya lakukan sehingga tidak dapat lepas mengetik di laptop. Beliau menanyakan apakah saya mendapatkan tugas dari dosen untuk membuat karya. Saya menjawab jujur, bahwa tidak mendapat tugas demikian dari dosen, melainkan menulis untuk karya yang akan dikirim ke penerbit. Beliau mulai mengerti dan bertanya asal penerbit.

Saya yang sebenarnya ingin merahasiakan hal ini, lantas memilih untuk tidak lagi menyembunyikan. Saya merasa beliau berhak tahu bahwa naskah ini akan dikirimkan kepada penerbit Malaysia. Sontak beliau mendoakan saya saat mengetahui hal tersebut. Perjuangan masih berlanjut dengan pergantian dan memperjelas alur. Naskah saya beberapa kali dipertimbangkan antara dapat lolos atau tidak. Hal itu wajar terjadi sebab penerbit memiliki beberapa panelis yang menyimak isi dari naskah dari para penulis.

Saya belajar banyak selama proses revisi dan pertimbangan yang dilakukan bersama pihak penerbit. Naskah saya sempat dinilai tidak sesuai dengan tema, mengandung adegan yang tidak berkorelasi, dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Sempat penerbit berbagi ulasan tentang cerpen yang saya buat, menawarkan apakah saya akan tetap bertahan dengan sedia terus memperbaiki naskah dalam waktu singkat atau mengirim beberapa puisi sebagai ganti dari cerpen. Selepas membaca saran ini, saya jadi lebih sadar diri bahwa saya memang perlu banyak belajar dan memiliki banyak kekurangan.

Melalui pikiran sambil mengamati kata demi kata dalam ulasan yang diberi oleh penerbit, saya memutuskan untuk tetap mempertahankan cerpen dengan berusaha memperbaiki naskah kembali. Selama tiga hari penuh, saya mencoba kembali memperbaiki naskah. Hampir tiga hari saya lalui dengan masa perbaikan. Saya belajar untuk tidak lekas menyerah. 

Sambil menulis pengalaman ini, saya teringat Pangeran Antasari pernah bersumpah dalam bahasa Banjar, "Haram manyarah, waja sampai kaputing". Laksana haram menyerah kepada Belanda, perjuangan harus diteruskan hingga tercapai cita-cita membebaskan tanah Banjar dari penjajahan. Saya memandang naskah ini adalah sebuah perjuangan. Godaan, rasa malas, serta sifat lekas menyerah sebagai penjajah diri yang mesti dilawan sampai titik darah penghabisan. 

Kesekian kali naskah saya bermasalah. Namun, penerbit menawarkan saran perbaikan alur. Saya terima saran tersebut dengan baik. Tentu menjadi tantangan bagi saya untuk menyusun alur baru. Saya sampai berdiskusi dengan saudari serta sahabat saat mengalami kebuntuan dalam membuat alur baru. Tanggapan mereka santai dan meminta saya untuk tetap berusaha memikirkan alur sesuai kemampuan. Saya mengikuti saran mereka dan mulai menyusun kembali alur, melawan godaan untuk berhenti berjuang.

Naskah saya lagi-lagi bermasalah, tetapi saya siap dengan konsekuensi. Tinggal beberapa hari dan saya tidak mau menyerah. Saya juga ingin menghargai perjuangan penerbit dan para penulis yang begitu sabar menunggu saya mengirim perbaikan naskah. Pada saat itu, saya juga siap bila diminta mengganti cerpen dengan puisi. Namun, ternyata pihak penerbit berbaik hati membantu saya mengemas cerita agar menjadi lebih sesuai atas tanda bahwa Allah memberi kesempatan untuk terus belajar mengenal kasih sayang-Nya kepada hamba. 

Mungkin Allah juga mendengarkan doa dari keluarga, guru, dosen, serta orang yang diam-diam turut berdoa. Siapa pun itu, terima kasih atas doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah.

Alhamdulillah, naskah saya lolos dalam seleksi, diikuti satu rekan saya yang rupanya juga tidak menyerah dalam berjuang. Saya benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepada penerbit, telah menerima naskah cerpen saya dengan tajuk Merpati Hati dan beberapa puisi dari rekan satu prodi. Penerbit juga mengingatkan saya untuk tidak lekas menyerah dan terus semangat untuk belajar. 

Martapura, 26 s.d. 27 Agustus 2022.

Revisi: _

Insya-Allah, berkenaan dengan bagian pengalaman program antologi ini, akan saya ulas di kesempatan lain. Terima kasih.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Komentar